Perjuangan dan Perkembangan Pelestarian Tari Tradisional Indonesia

Tari tradisional Indonesia berusaha pertahankan eksistensi

Intinya Sih...

  • Hari Tari Sedunia diperingati setiap 29 April, untuk mempromosikan tarian di seluruh dunia.
  • Indonesia memiliki sekitar 3.000 tari tradisional, termasuk Tari Lenggo di Bima dan Tari Tanggai di Palembang.
  • Tarian kontemporer mulai diminati oleh generasi muda, namun pelestarian tari tradisional tetap penting.

Palembang, Indonesia – Tanggal 29 April diperingati setiap tahun sebagai Hari Tari Sedunia atau International Dance Day yang diinisiasi oleh Komite Tari Institut Teater Internasional atau International Theatre Institute (ITI), organisasi naungan UNESCO yang bergerak di bidang kebudayaan, pendidikan dan seni yang berfokus untuk meningkatkan profesi seni pertunjukan.

Tanggal tersebut merupakan hari lahir Jean Georges Noverre (1727-1810), pencipta balet modern. Sejak 1982, Hari Tari Sedunia diperingati untuk mempromosikan tarian di seluruh dunia, menyadarkan orang akan nilai tarian, dan memungkinkan komunitas tari mempromosikan karya mereka dalam skala luas.

Termasuk di Indonesia, Hari Tari Sedunia diperingati dengan berbagai penampilan seni. Ribuan penari berbusana tradisional di Cimahi misalnya, unjuk kebolehan di sepanjang Jalan Gandawijaya dan Alun-alun Cimahi Kota Cimahi, Jawa Barat, Minggu (28/4/2024). Penampilan tarian tradisional yang diikuti sanggar tari di Kota Cimahi, menampilkan 23 tarian dari 23 provinsi serta tarian kolosal.

Pura Mangkunegaran bersama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) juga menggelar trilogi tari dalam rangka merayakan Hari Tari Dunia dan memperingati Adeging Mangkunegaran ke-267. Gelaran trilogi tari ini dimulai di Candi Sukuh, tempat yang kaya akan simbolisme kesuburan. Acara berlanjut di Puro Mangkunegaran, sebagai simbol rumah dan warisan budaya, dan mencapai puncaknya dengan perayaan Perhelatan 24 Jam Menari yang digelar di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo.

Indonesia sebenarnya memiliki sekitar 3.000 tari tradisional yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dari 671 tari tradisional yang tercatat, 110 jenis tari di antaranya telah ditetapkan Kemendikbudristek ke dalam daftar warisan budaya takbenda. Tari Saman dan tiga genre tari tradisional di Bali juga telah diakui dan masuk dalam daftar UNESCO sebagai Intangible Cultural Heritage. Setiap tarian di seluruh Indonesia pun punya sejarah dan makna yang berbeda-beda. Ada yang bermakna pujian terhadap agama, rasa syukur terhadap hasil alam, penyemangat, atau cerminan daerah mereka.

Baca Juga: Sejarah Tari Tanggai Palembang; Upacara Persembahan Jadi Sambut Tamu

1. Sejarah tarian, makna dan ikatan religi

Perjuangan dan Perkembangan Pelestarian Tari Tradisional Indonesia

Kabupaten Bima, di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), kaya akan warisan budaya yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Salah satunya adalah Tari Lenggo, sebuah tarian tradisional yang memikat. Tari lenggo pertama kali muncul pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kahir sekitar tahun 1680. Awalnya, tari lenggo hanya dipentaskan sebagai bagian dari pengiringan Hanta U'a Pua di Kesultanan Bima. 

Tarian ini melibatkan empat pasang penari, terdiri dari empat penari pria dan empat penari wanita. Mereka berpadu dalam gerakan yang khas, disertai dengan iringan musik tradisional yang menggema sepanjang penampilan.

Delapan penari memakai baju bodo berwarna kuning dan menampilkan gerakan berpasangan. Penampilan mereka melambangkan nggusuwaru, atau delapan arah mata angin menurut tradisi lokal. Warna kuning pada baju mereka melambangkan kejayaan Islam dan kerajaan. Sebelumnya di beberapa bagian tubuh para penari diberi warna kuning dengan menggunakan kunyit. Ketika mereka tampil, mereka dikelilingi oleh empat Ina (ibu) Lenggo dari sisi utara, selatan, timur, dan barat.

Menurut budayawan Bima, Fahrurizki, tari lenggo tetap dijaga dan dipersembahkan oleh pemerintah daerah. Kini, penampilannya tidak hanya terbatas pada pengiringan Hanta U'a Pua, tetapi juga sering ditampilkan di kantor pemerintah saat menyambut tamu dari luar daerah atau dalam berbagai festival budaya.

Sama halnya dengan Tari Tanggai yang berasal dari Sumatra Selatan. Tari Tanggai awalnya sebagai bentuk persembahan namun kini berubah menjadi tarian untuk menyambut tamu negara atau tamu undangan cara formal. Pada abad ke-5 Masehi, Tari Tanggai merupakan tari persembahan terhadap Dewa Siwa dengan membawa sesajian yang berisi buah dan beraneka ragam bunga.

Pada zaman dahulu, Tari Tanggai bertujuan sebagai tari persembahan pengantar sesajian sehingga dikategorikan tarian yang sakral. Nama Tari Tanggai berasal dari alat atau properti seperti kuku yang terbuat dari lempengan tembaga, dipakai penari yaitu tanggai di delapan jari kecuali jempol. Seorang penari Tanggai harus memiliki kelentikan terutama pada jari-jari tangan saat memakai Tanggai.

Tari Tanggai Palembang juga memiliki kesamaan dengan tarian yang ada di Negara China. Sebab pada zaman dahulu terdapat sebuah kerajaan besar yang dibangun oleh keturunan raja Syailendra beragama Buddha, dan secara tidak langsung diajarkan sebagai tari persembahan terhadap dewa.

Pada Abad ke-17, Kesultanan Palembang Darussalam mengharamkan gadis atau perempuan menari. Seluruh pertunjukan diperankan oleh laki-laki, termasuk Tari Tanggai. Namun memasuki tahun 1920, Tari Tanggai digunakan untuk mencari jodoh oleh para orangtua di Palembang atau disebut Rasan Tuo. Berlanjut pada 1965, lagu dan Tari Gending Sriwijaya dilarang untuk ditampilkan termasuk Tari Tanggai dengan alasan politis.

Tari Tanggai memiliki 13 gerakan khas yang melambangkan berbagai hal, mulai dari rasa syukur kepada Sang Pencipta, sikap rendah hati, dan gerakan yang melambangkan perlindungan serta keseimbangan antara rasa dan pikiran.

Jika Tari Tanggai menggunakan gong dan beduk sebagai pengiring, Tarian Rampak Bedug dari Banten pun demikian. Berdasar berbagai literatur, tahun 1950-an merupakan awal mula diadakannya pentas Rampak Beduk. Pada waktu itu di Kecamatan Pandeglang pada khususnya sudah diadakan pertandingan antar kampung. Sampai tahun 1960, Rampak Beduk masih merupakan hiburan rakyat.

Baca Juga: Mengenal Srawung Seni Sawah, Festival Seni Tari dan Musik di Lampung

Perjuangan dan Perkembangan Pelestarian Tari Tradisional IndonesiaDok. Kemenag Pandeglang

Awalnya Rampak Beduk berdiri di Kecamatan Pandeglang. Kemudian seni ini menyebar ke daerah-daerah sekitarnya hingga ke Kabupaten Serang. Kemudian antara tahun 1960-1970, tokoh kesenian Rampak Beduk, Haji Ilen, menciptakan suatu tarian kreatif dalam seni Rampak Beduk. Rampak Bedug yang berkembang saat ini dapat dikatakan sebagai hasil kreasi Haji Ilen.

Tari Rampak Beduk dikutip dari laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), kata Rampak mengandung arti Serempak. Jadi Rampak Beduk adalah seni beduk dengan menggunakan banyak beduk dan ditabuh secara serempak, sehingga menghasilkan irama khas yang enak didengar. Rampak Beduk hanya terdapat di daerah Banten sebagai ciri khas seni budaya setempat, dan biasanya dilakukan kala menyambut bulan suci Ramadan dan Idulfitri. Meski pencetus dan pemainnya lebih didasari oleh motivasi religi, tapi masyarakat seniman dan pencipta seni memandang seni Rampak Beduk sebagai sebuah karya seni yang patut dihargai.

Lalu, siapa yang tak mengenal Tari Saman? Tari ini telah tumbuh dan berkembang dari Kabupten Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Timur (Kecamantan Serbejadi), Kabupaten Aceh Tamiang (Tamiang Hulu). Tari saman adalah permainan tradisi yang sering dimainkan oleh remaja laki-laki untuk mengisi waktu luang; saat di sawah, mersah, maupun ketika pulang mengaji. Mereka menyempatkan diri untuk berlatih saman. Tari Saman adalah tradisi turun temurun dan menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Gayo.

Berdasarkan cerita dari mulut ke mulut, Saman berasal dari kesenian yang disebut pok one yang artinya menepuk tangan sambil bernyanyi. Menurut sejarahnya, Saman dikembangkan oleh seorang tokoh islam bernama Syeh Saman. Beliau menciptakan syairnya dengan menggunakan bahasa arab dan bahasa aceh.

Saman juga telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan dunia takbenda. Tari Saman telah menjadi bentuk salah satu bentuk seni pertunjukan yang sering digunakan sebagai sarana komunikasi, menjalin silaturahmi, menyampaikan pesan moral, pantun untuk generasi muda, merepresentasikan alam dan lingkungan di sekitarnya.

Baca Juga: 29 April Hari Tari Internasional: Ini Sejarahnya

2. Susahnya mempertahankan seni dan budaya

Perjuangan dan Perkembangan Pelestarian Tari Tradisional Indonesia

Lampung juga memiliki banyak sekali tarian tradisional. Namun beberapa yang terkenal di antaranya adalah Tari Melinting, Tari Bedana, dan Cangget. Tarian daerah Lampung memiliki peranan yang sangat penting bagi masyarakat setempat, seperti media untuk eksistensi diri. Tiap tarian pun punya makna berbeda-beda, misalnya Bedana lebih mencerminkan persaudaraan dan merakyat. Sementara Cangget lebih kompleks dan sakral.

Jika dilihat secara umum, perkembangan seni tari di Lampung cukup bagus. Sayangnya, penari muda saat ini cenderung tertarik pada tari modern dan kreasi dibanding tari tradisi atau tari aslinya. Setidaknya demikian yang disampaikan Agus Gunawan, Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Lampung.

“Kalau untuk tari secara umum saya lihat perkembangannya cukup bagus. Tapi kalau dilihat dari sudut pandang tari tradisinya saja, itu cukup miris. Karena anak mudanya sekarang kurang mau mempelajari tari tradisi. Padahal akar tradisi itu harus dicari untuk membuat sebuah karya. Mereka lebih ke tari modern dan kreasi yang dinilai lebih variatif,” katanya.

Agus melanjutkan, sebenarnya masalah seperti ini tak hanya menjadi problematika di Lampung saja, namun hampir di seluruh bagian Indonesia. Seperti di Jawa Barat misalnya, ia mengatakan Tari Jaipong saat ini sudah menggeser jauh dari aslinya.

“Jaipong asli gak erotis seperti itu. Sekarang kan, Jaipong erotis bange. Image-nya pun jadi seperti itu. Padahal aslinya gak. Kalau di Lampung, tari tradisi itu gak ilang. Masih ada beberapa yang mempelajari sampai sekarang, tapi minat generasi mudanya saja yang memprihatinkan,” jelasnya.

Ia mengatakan, budaya luar termasuk Kpop dan Kdance bisa jadi menjadi salah satu pengaruh anak muda sekarang kurang berminat pada tari tradisi. Apalagi kecenderungan anak kurang lebih adalah mengikuti apa yang sedang trend saat itu.

Dion Syaif Saen selaku pegiat budaya di Sulawesi Selatan (Sulsel), memandang bahwa anak muda cenderung lebih bosan dengan tarian tradisional yang sifatnya begitu-begitu saja. Berbeda dengan tarian kontemporer yang lebih bebas dan energik. Berkurangnya minat anak muda pada tari tradisional juga dipengaruhi masuknya tarian kontemporer dari luar negeri. Tarian kontemporer ala Kpop dari Korea Selatan juga sukses membuat banyak anak muda menggandrunginya.

Gerakannya yang luwes, energik, dan bebas, ternyata lebih disukai anak muda. Berbanding terbalik dengan tarian tradisional yang telah mempunyai pakem-pakem tertentu. Gerakannya juga lebih anggun, lemah lembut dan lambat. Dion mengambil contoh Tari Pakarena di Sulawesi Selatan.

Tarian ini memiliki ciri khas berupa gerakannya yang estetik, mengandalkan gerakan kaki dan tangan yang lambat serta gerakan kipas yang lemah lembut. Biasanya tarian ini diiringi alat musik tiup (pui-pui) dan gendang (gandrang). Meski gerakannya lambat tapi alunan instrumen yang mengiringi tarian itu cukup cepat.

Menurut Dion, tarian tradisional dulu lebih menyentuh meski tanpa adanya unsur instrumen tambahan. Sebab di situ lah terdapat makna sakral. Saking sakralnya, ada ritual yang harus dijalankan sebelum menari.

"Dulu kalau orang mau menari, harus ritual dulu. Misalnya tari Paolle di Bantaeng, minta ke alam semesta. Itu sangat menjaga ritual Memang sebagai bentuk upacara seserahan, kehormatan," kata Dion.

Zaman sekarang, nyaris semua unsur telah dimodifikasi mulai dari kostum, gerakan, instrumen hingga riasan. Gerakan yang tadinya pelan bisa dimodifikasi menjadi lebih tegas. Penari yang dulunya tidak memakai riasan kini memakai riasan. Namun perkembangan zaman memang sulit dihindari. Mau tidak mau, modifikasi tarian tradisional pasti akan selalu ada namun tetap menjaga orisinalitas. Menurut Dion, semua yang terjadi saat ini merupakan inovasi dari yang pernah terjadi di masa lalu.

Baca Juga: Sejarah Rampak Beduk, Seni Tari Khas Banten

3. Sedikit sentuhan modifikasi tanpa kurangi makna

Perjuangan dan Perkembangan Pelestarian Tari Tradisional Indonesia

Sama halnya yang dilakukan Majas Pribadi, Seniman asal NTB. Pengembangan tarian kontemporer yang bersumber dari tari tradisional baginya memikat anak muda. Majas Pribadi mengembangkan tarian kontemporer Sang Samahita Satwika Bhumi, yang mengkreasikan tarian tradisional dengan hip hop. Tarian Sang Samahita Satwika Bhumi bermakna bijaksana mengelola bumi agar tetap lestari dan berkelanjutan.

"Tarian Sang Samahita Satwika Bhumi ini tari baru di NTB. Kita coba mendiskusikan tentang pengelolaan bumi yang harus cerdas, bijaksana, sustainable. Itu kita ambil dari bahasa sansekerta," kata Majas.

Dalam tarian Sang Samahita Satwika Bhumi, kata Majas, dia melakukan formulasi antara tari tradisi dengan hip hop. Tarian ini banyak melibatkan anak-anak muda atau generasi milenial dan Gen Z. Dalam 20 tahun ke depan menurut Majas, merupakan milik anak milenial dan Gen Z. Dan kehebatan suatu bangsa dapat dilihat dari kebudayaannya.

"Kita bisa melihat cahaya terang, bicara Indonesia Emas 2045 itu tidak ngibul. Kita punya rencana strategis yang bisa dicapai yang penting elitnya gak gaduh saja," ujar Majas.

Ia mengatakan bahwa menari adalah bagian dari kegembiraan. Menari menunjukkan bahwa kita sanggup, mampu, dan hebat. Belajar dari sejarah, nenek moyang mengkreasikan tarian pada masa lalu untuk menunjukan kehebatan dan bangsa petarung.

Namun memodifikasi seni yang sudah membudaya agak sedikit sulit dilakukan, apalagi dianggap melenceng dari pakem. Seniman asal Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan, Bali, Nyoman Agus Hari Sudama Giri, menceritakan saat dirinya merancang Tari Kreasi Hyang Aji Segara bersama I Putu Hery Eka Prasetya untuk Pesta Kesenian Bali (PKB) 2023.

Sudarma menjelaskan, Tari Kreasi Hyang Aji Segara adalah satu karya tari yang memuat rasa bakti atas keagungan dan kemulian segara. Hyang dapat diartikan kekosongan atau yang memiliki sifat suci, Aji berarti segala ilmu dan pengetahuan, dan Segara berarti lautan. Hyang Aji Segara memuat intisari dari makna filosofis mengenai suatu interpretasi dalam memaknai kesucian lautan.

"Permainan pola koreografi yang dinamis mewakili karakter kuatnya deburan ombak yang selalu berubah. Segara menjadi pertemuan sumber dan akhir dari segala jenis air di semesta ini yang umum disebut campuhan. Sehingga dalam karya ini digambarkan dengan pola pertemuan Purusa dan Pradana yang menciptakan suatu kehidupan, baik bagi seisi biota laut maupun semesta. Hyang Aji Segara memberikan makna pesan moral dalam menerapkan konsep Segara Kertih, khususnya sebagai wujud penghormatan terhadap Segara," jelas Sudarma.

Menurutnya, generasi muda Bali terbuka dengan perkembangan zaman. Antara tradisi dan kebaruan di Bali selalu berkembang seiring berjalannya waktu. Meskipun ada gempuran tarian modern, misalnya KPop, Sudarma menilai generasi muda zaman sekarang masih tetap meminati kesenian tradisional.

Ismunandar, Dosen Prodi Seni di Universitas Tanjungpura Pontianak sekaligus orang yang menciptakan tarian tiga etnis atau Tidayu (Tionghoa, Dayak, Melayu) yang sering dibawakan oleh pegiat tari di Pontianak, Kalbar, berkisah tentang makna masing-masing tarian kontemporer tersebut.

Pembuatan tarian Melayu diambil dari nilai-nilai kehidupan masyarakat di Pontianak, Kalbar. Bentuk kebersamaan, harmoni, dan disimbolkan dengan properti tarian serta musik melayu. Walaupun berdarah Melayu, Ismunandar juga mendalami gerak-gerak serta tradisi Suku Dayak di Kalbar. Dia juga menciptakan dua jenis tarian dayak yakni tarian Signal dan Mangkok Merah.  Ia mengaku belajar dengan tokoh, riset, dan pengalaman. Misalnya, tarian signal yang menggambarkan bencana kabut asap tahunan.

“Sekarang tarian (Tidayu) itu populer di kegiatan-kegiatan nasional, jadi icon baru atau etalase di Kalbar. Dan berperan sebagai media perekat di masyarakat, itu sepertinya sangat ampuh dan alhmadulilah bisa damai,” kata Bang Is.

Baca Juga: Kisah Penggiat Tari Ciptakan Tarian 3 Etnis di Kalimantan Barat

4. Mencintai seni dan budaya dari sekolah serta keluarga

Perjuangan dan Perkembangan Pelestarian Tari Tradisional IndonesiaLembaga Sanggar Kijang Berantai Pontianak. (IDN Times/ig @kijangberantai).

Masyarakat Kota Banjarmasin di Kalimantan Selatan (Kalsel) menganggap seni tari menjadi alternatif yang diunggulkan oleh orang tua, daripada hanya menghabiskan waktu dengan bermain ponsel. Bahkan, Pemerintah Kota (Pemkot) Banjarmasin turut menyelenggarakan pelatihan tari gratis bagi anak-anak.

Seni tari di Banjarmasin dianggap memiliki peran penting dalam memperkuat identitas daerah dan sekaligus menjaga kelestarian budaya lokal dari ancaman era digitalisasi yang semakin merajalela. Rahman Nafarin, Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata Kebudayaan dan Pemuda Olahraga (Disbudparpora) Kota Banjarmasin, menegaskan pihaknya memiliki program pelestarian kebudayaan asli Suku Banjar. Salah satunya adalah tarian japin.

Tarian japin diselenggarakan khusus untuk melatih dan memperkenalkan tari khas Melayu itu kepada generasi muda sebagai pewaris budaya. Tarian yang khas dengan iringan alat musik gambus dan rebana tersebut diadakan sekali sebulan, dengan lokasi pelatihan di Menara Pandang, Siring Tendean, Banjarmasin. Pihaknya juga telah menghadirkan lima orang pelatih tari profesional asal Kalsel untuk memberikan arahan yang berkualitas.

Bicara soal pelatih atau koreografer tari, Kepala Dinas Kebudayaan/Kundha Kabudayan Kabupaten Sleman, Edi Winarya, menilai perlu adanya regenerasi meski pelaku seni di Kabupaten Sleman cukup banyak. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sleman pun menyelenggarakan Lomba Cipta Tari tingkat Kabupaten Sleman. Selain untuk memperingati Hari Tari Internasional di Museum Gunung Merapi, Sleman, Sabtu (27/4/2024), acara ini juga bertujuan agar seni tari bisa lestari. 

Menurutnya, pelestarian seni tari tak sebatas penari itu sendiri. Sleman katanya juga harus melestarikan atau mendorong orang-orang yang cerdas di bidang lain yaitu koreografer, penata kostum, penata iringan, dan penata artistik.

Menurut Kepala Bidang Adat, Tradisi, Lembaga Budaya, dan Seni Dinas Kebudayaan Sleman, Eko Ferianto, lomba cipta tari merupakan salah satu program unggulan Dinas Kebudayaan Sleman, untuk menggali potensi sumber daya manusia di bidang penciptaan tari. Oleh sebab itu, masing-masing di kapanewon diharapkan bisa tumbuh pencipta tari yang andal.

Dukungan pemerintah dalam pelestarian seni tari sudah menjadi hal yang wajib. Ine Arini selaku Dosen Institut Seni Bandung Indonesia (ISBI) tidak menampik bahwa anak muda sekarang khususnya mereka yang duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) atau sekolah menengah atas (SMA), tidak banyak yang mendalami tari-tarian tradisional. Meski ada ekstrakulikuler menari, tapi mereka hanya alakadarnya saja.

Ine menyebut, tekad seorang murid untuk menekuni sesuatu termasuk tarian tradisional tidak terlepas dari guru yang mengajar. Di sekolah, para guru pendidik tidak banyak yang mengerti secara mendalam apa itu tari tradisional dan bagaimana membuat siswanya bisa tertarik mempelajari tarian dan sejarah dalam tari tersebut.

Untuk membuat siswa bisa lebih tertarik menekuni tari tradisional sedari lingkup sekolah, Ine berharap para guru bisa serius ketika melatih. Keseriusan tersebut bukan hanya pada jam mengajarnya saja, tapi juga penekanan pada sejarah, tradisi, dan penguatan lainnya yang bisa menunjang seseorang belajar tari tradisional.

Artikel ini dibuat dari kolaborasi Hyperlocal IDN Times:

Rizki (Jabar), Larasati Rey (Jateng), Juliadin JD dan Muhammad Nasir (NTB), Feny Maulia Agustin (Sumsel), Muhammad Iqbal (Banten), Rohmah Mustaurida (Lampung), Ashrawi Muin (Sulsel), Ni Ketut Wira Sanjiwani (Bali), Tri Purnawati dan Hamdani (Kaltim), Herlambang Jati Kusumo (Jogja), Debbie sutrisno (Jabar).

Baca Juga: Koreografer Tari di Kabupaten Sleman Perlu Regenerasi

Topik:

  • Deryardli Tiarhendi

Berita Terkini Lainnya