Kapal Telok Abang, Tradisi Tahunan Momen Kemerdekaan di Palembang

Sudah ada sejak masa Ratu Wilhelmina II dari Belanda

Momen kemerdekaan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia setiap 17 Agustus, selalu diwarnai dengan ragam tradisi dari semua pelosok Tanah Air. Tak kalah meriah dari daerah lain, Palembang juga memiliki simbol perayaan bernama Kapal Telok Abang.

Kapal Telok Abang merupakan permainan tradisional berbentuk kapal atau perahu yang terbuat dari gabus. Kapal Telok Abang secara turun-menurun menjadi aksesori wajib ketika 17 Agustus-an. Dahulu, Kapal Telok Abang menjadi souvenir rutin orangtua kepada anaknya.

Namun seiring zaman, lambat laun Kapal Telok Abang perlahan tergerus dan khawatir punah. Berdasarkan sejarah, Kapal Telok Abang populer sejak tahun 1960-an ke atas. Bagaimana runut perkembangannya? Simak di IDN Times yuk!

1. Permainan tradisional sudah ada sejak sebelum kemerdekaan Indonesia

Kapal Telok Abang, Tradisi Tahunan Momen Kemerdekaan di PalembangPermainan tradisional telok abang (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Menurut Sejarawan Palembang, Kms. A.R. Panji, perayaan hari 17-an memang sering dikaitkan dengan Kapal Telok Abang. Tapi tahukah kalian, permainan tersebut ternyata sudah ada sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Tepatnya pada masa kepemimpinan Ratu Wilhemina II asal Belanda.

"Sekarang berkembang bukan hanya berupa kapal atau perahu, sudah inovasi jadi transportasi lain seperti pesawat udara. Kalau permainan tradisional, kapalnya ada sejak ketika kita belum merdeka. Tetapi kalau Kapal Telok Abang baru setelah kemerdekaan tahun 60-an ke atas," jelasnya.

Permainan tradisional Kapal Telok Abang merupakan perkembangan perubahan zaman. Sebelumnya, hanya permainan tradisional tanpa telur berwarna merah. Hadirnya telok abang seiring dengan penjualan dan inovasi pengrajin yang menghadirkan permainan dengan bonus telur.

"Telok abang itu telur yang telah direbus dan diberi pewarna merah pada permukaan kulitnya. Dulu telor bebek tapi mungkin faktor harga maka diganti telur ayam. Jadi sudah mendapat mainan, anak-anak juga bisa makan telurnya," terang dia.

Baca Juga: 5 Permainan Tradisional Populer yang Diadaptasi ke Dalam Game Digital

2. Kapal telok abang terbuat dari kayu gabus

Kapal Telok Abang, Tradisi Tahunan Momen Kemerdekaan di PalembangPermainan tradisional telok abang (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Kapal Telok Abang dijual sekitar Rp30-50 ribu. Awal mula permainan tradisional kapal-kapalan tersebut sebagai rangkaian perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina II setiap bulan Agustus, yang dirayakan semua lapisan kota di negeri ini termasuk Palembang.

"Perayaan besar ditandai dengan beberapa perlombaan dan hiburan. Seperti panjat pinang dan lomba perahu bidar. Sedangkan makanan dan mainan untuk anak-anak adalah Kapal Telok Abang dan ada juga telok ukan," kata pria yang akrab disapa Ari ini.

Lantas, apakah permainan Kapal Telok Abang berkaitan dengan sebutan Palembang berjuluk Venesia dari Timur? Secara identitas menurut Ari bisa dikatakan benar, karena Palembang merupakan wilayah perairan dan identik dengan transportasi sungai.

Namun yang pasti, Kapal Telok Abang dibuat dari bahan kayu gabus. Kayu gabus merupakan pohon yang tumbuh di wilayah rawa di Palembang. Namun karena sekarang area rawa mulai berkurang, kayu gabus sudah sulit didapatkan.

"Mencari bahan dari daerah penyangga seperti Ogan Ilir, Prabumulih dan Banyuasin. Kalau lihat ada yang dijual kebanyakan bukan dari kayu gabus, melainkan dari kertas dan streofoarm yang tidak bertahan lama," ungkapnya.

3. Tradisi kapal telok abang perlahan mulai terkikis perubahan

Kapal Telok Abang, Tradisi Tahunan Momen Kemerdekaan di PalembangPermainan tradisional telok abang (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Transisi adanya perkembangan teknologi saat ini, Ari menilai peminat Kapal Telok Abang mengalami penurunan. Bahkan semarak simbolis perayaan dengan identitas permainan tradisional pun mulai tertinggal zaman. Kebanyakan anak-anak lebih memilih internet dan gadget ketimbang bermain dengan kearifan lokal.

"Disebut tidak tertarik bisa, tapi sebenarnya bagaiamana orangtua mereka mengenalkan. Makanya perlu edukasi dan dipertahankan. Selain menjaga agar omzet pengrajin kapal telok abang tidak merosot," ujarnya.

Ari berharap ke depan Kapal Telok Abang tidak hilang dan terkikis perubahan. Apalagi bagi sebagian pengrajin, permainan tersebut merupakan mata pencaharian yang melahirkan karya tradisi bangsa. Ari mendorong pemerintah ikut berkontribusi melaksanakan pembinaan serta mendekatkan tradisi sebagai aset wisata.

"Solusinya ya seperti menjawab keluhan pengrajin yang sulit mencari kayu gabus, dengan menanam lebih banyak pohonnya ataumelibatkan Dinas Pertanian dan Perkebunan. Karena ini ciri khas Palembang yang harus dipertahankan. Ada nilainya, dan jadikan rutinitas souvenir setiap setahun sekali," jelas dia.

4. Omzet penjualan kapal telok abang tiap tahun mengalami penurunan

Kapal Telok Abang, Tradisi Tahunan Momen Kemerdekaan di PalembangPermainan tradisional telok abang (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Bila ingin membeli dan menemukan lokasi penjualan Kapal Telok Abang di Palembang, beberapa tempat seperti di kawasan Jalan Merdeka dan lingkungan Pasar 26 ilir merupakan area penjual permainan tradisional itu. Biasanya juga pengrajin Kapal Telok Abang tinggal di daerah seberang Ulu, tepatnya wilayah Jalan Banten Plaju atau di Kertapati Palembang.

Rizka, seorang penjual kapal telok abang di Jalan Merdeka Palembang mengakui, setiap tahun mengalami penurunan omzet pembeli. Kendati demikian, tak lantas membuatnya berhenti menjajakan tradisi Kota Pempek ini. Bagi dia, ada kepuasaan saat menawarkan Kapal Telok Abang.

Apalagi, sudah puluhan tahun ia rutin berdagang Kapal Telok Abang . Satu keluarga ini saling mewarisi aktivitas berjualan di pinggir jalan raya Kota Palembang. Mengambil barang dari agen, Rizka selalu berjualan mengikuti setiap momen, baik kemerdekaan ataupun tahun baru.

"Jualan setiap ada monen setiap tahun harga mulai Rp25-50 ribu tergantung bahan dan ukuran. Ada dari kardus dan kayu gabus, menunur (pembeli) pasti ada. Tapi ada yang memang turun menurun keluarganya pasti beli karena sudah kebiasaan," tandas dia.

Baca Juga: Merawat Baso Palembang, Bahasa Daerah Santun yang Kini Beranjak Sirna 

Topik:

  • Deryardli Tiarhendi

Berita Terkini Lainnya