TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Penyebab Impostor Syndrome yang Harus Kamu Tahu, Yuk Kenali! 

Fenomena ini bukan masalah individu tetapi budaya dan sosial

ilustrasi impostor syndrome (freepik.com/freepik)

Impostor syndrome adalah fenomena psikologis dialami oleh orang-orang yang merasa tidak layak atau tidak berhak atas kesuksesan yang mereka raih. Meski telah mencapai prestasi yang signifikan, orang dengan impostor syndrome tetap merasa tak yakin dan takut bahwa orang-orang akan menemukan bahwa mereka sebenarnya tidak berbakat.

Impostor syndrome dapat memengaruhi segala aspek kehidupan, termasuk karier, hubungan sosial, dan kesehatan mental. Oleh karena itu, penting untuk mengenali gejala-gejala impostor syndrome serta mencari cara untuk mengatasinya.

Banyak faktor yang dapat menyebabkan impostor syndrome, termasuk kecenderungan untuk mempertahankan standar yang tidak realistis dan tidak sehat, pola pikir negatif, pengalaman masa kecil, dan pengaruh dari lingkungan sosial dan budaya.

Teori-teori ilmiah tentang impostor syndrome menunjukkan bahwa fenomena ini bukanlah masalah individu semata, tetapi juga berkaitan dengan konteks sosial dan budaya yang melingkupinya.

Baca Juga: 5 Alasan Ini Bisa Motivasi Kalian Gen Z Miliki Keahlian Menulis

Baca Juga: 1 dari 3 Milennial Tertarik Platform Pembelajaran Online

1. Teori asal-usul sosial dan psikologis

ilustrasi impostor syndrome (freepik.com/stefamerpik)

Asal-usul sosial dan psikologis menjelaskan bahwa impostor syndrome bisa muncul akibat dari lingkungan sosial yang memberikan tekanan terhadap individu untuk selalu berhasil dan memenuhi standar yang tinggi.

Studi oleh Clance dan Imes (1978) menunjukkan bahwa perempuan yang mencapai prestasi tinggi seringkali merasakan impostor syndrome. Mereka merasa tidak layak dan percaya bahwa kesuksesan tidak berasal dari kemampuan yang sebenarnya, tetapi dari keberuntungan atau faktor eksternal lainnya. Tentunya, hal ini disebabkan oleh tekanan dari lingkungan sekitar seperti keluarga, teman, atau masyarakat, karena memberikan standar yang tidak realistis atau ekspektasi berlebihan.

Selain itu, teori psikologis juga memperhatikan aspek individu yang berkontribusi pada munculnya impostor syndrome. Studi oleh Young (2011) menunjukkan bahwa faktor psikologis seperti kecemasan dan perasaan rendah diri dapat menjadi pemicu dari impostor syndrome.

Individu yang memiliki sifat perfeksionis atau terlalu memfokuskan pada kesalahan-kesalahan mereka, cenderung merasa tidak aman dengan kemampuan dan meragukan diri sendiri. Selain itu, teori psikologis juga mengamati bahwa sifat tertentu dalam kepribadian seperti ketidakmampuan untuk menerima pujian dan kesulitan dalam mengekspresikan emosi yang memperburuk kondisi impostor syndrome.

2. Teori perbedaan gender

ilustrasi impostor syndrome (freepik.com/tirachardz)

Teori perbedaan gender dalam impostor syndrome mencatat bahwa perempuan lebih mungkin merasakan kondisi ini ketimbang pria. Studi oleh Clance dan O'Toole (1988) menunjukkan bahwa perempuan sering merasa tidak percaya diri dan meragukan kemampuan mereka, terutama dalam situasi yang dianggap sebagai domain laki-laki.

Seput saja bidang seperti bisnis, teknologi, atau sains. Hal ini terkait dengan pengalaman diskriminasi gender dan stereotipe yang diterapkan pada perempuan dalam lingkungan kerja. Selain itu, studi oleh Chrisman et al. (1995) menunjukkan bahwa perempuan lebih mungkin untuk menunjukkan ciri-ciri impostor syndrome ketimbang pria.

Namun, teori ini juga memperhatikan bahwa pria juga bisa merasakan impostor syndrome, meskipun dalam tingkat yang lebih rendah. Studi oleh Cokley et al. (2013) menunjukkan pria yang termasuk dalam kelompok minoritas etnis sering merasakan tekanan dan meragukan kemampuan mereka.

Selain itu, pria yang merasakan impostor syndrome seringkali merasa tertekan dan merasa tidak nyaman untuk berbicara terbuka tentang perasaan mereka, karena upaya itu dianggap tidak sesuai dengan norma maskulinitas yang dominan dalam masyarakat.

3. Teori perfeksionisme

ilustrasi impostor syndrome (freepik.com/freepik)

Teori perfeksionisme merupakan salah satu faktor yang dapat memicu terjadinya impostor syndrome. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki sikap perfeksionisme, cenderung menuntut standar yang sangat tinggi dari dirinya sendiri.

Ia merasa tidak pernah mencapai standar yang sudah ditetapkan. Hal ini bisa mengakibatkan seseorang merasa tidak kompeten, meragukan kemampuan dirinya, dan pada akhirnya merasa seperti seorang penipu dalam kesuksesan yang telah dicapai.

Menurut Hewitt dan Flett (1991), seseorang yang memiliki perfeksionisme cenderung menilai dirinya berdasarkan pencapaian atau kegagalan dalam mencapai standar yang sudah ditetapkan.

Perfeksionisme dibagi menjadi dua kategori, yaitu perfeksionisme personal dan perfeksionisme sosial. Perfeksionisme personal merujuk pada tuntutan standar yang ditetapkan oleh diri sendiri, sedangkan perfeksionisme sosial merujuk pada tuntutan standar yang ditetapkan oleh orang lain. 

Stoeber dan Otto (2006) mengungkapkan bahwa ada dua konsep perfeksionisme yang berbeda, yaitu perfeksionisme adaptif dan perfeksionisme maladaptif. Perfeksionisme adaptif menunjukkan bahwa seseorang memiliki standar yang tinggi dan bersifat memotivasi diri untuk mencapai tujuan tersebut.

Sedangkan perfectionisme maladaptif cenderung menekankan pada kesalahan dan kegagalan, sehingga membuat seseorang merasa tidak kompeten dan meragukan kemampuan dirinya.

Selain itu, Ferrari et al. (2013) menemukan bahwa self-compassion dapat memoderasi hubungan antara perfeksionisme dan depresi, sehingga dapat membantu mencegah terjadinya impostor syndrome pada individu dengan perfeksionisme maladaptif.

4. Teori pola pikir

ilustrasi impostor syndrome (freepik.com/freepik)

Teori pola pikir menyatakan bahwa cara seseorang memandang dirinya dan kemampuan, berpengaruh pada terjadinya impostor syndrome. Menurut teori ini, terdapat dua tipe pola pikir yang memengaruhi perilaku seseorang, yaitu fixed mindset dan growth mindset.

Orang dengan fixed mindset cenderung berpikir bahwa kemampuan mereka sudah ditentukan sejak lahir dan tidak dapat berkembang. Sementara itu, orang dengan growth mindset percaya bahwa kemampuan mereka bisa berkembang melalui latihan dan pengalaman.

Teori pola pikir didukung oleh buku "Mindset: The new psychology of success" karya Carol Dweck dan "Self-compassion: Stop beating yourself up and leave insecurity behind" karya Kristin Neff.

Keduanya menyatakan bahwa pola pikir yang positif dan lebih terbuka terhadap perubahan dapat membantu mengurangi impostor syndrome. Studi terbaru juga menunjukkan bahwa self-compassion dapat membantu mengatasi impostor syndrome dan mengurangi dampak negatif dari perfeksionisme.

Teori ini menekankan pentingnya untuk memiliki pola pikir yang positif dan mengembangkan sikap yang lebih ramah terhadap diri sendiri untuk mengurangi terjadinya impostor syndrome.

Baca Juga: 5 Penyebab Utama Skill Tumpul; Terlalu Santai dan Jarang Digunakan

Verified Writer

Alfikri Saga

.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya