Filosofi Maksuba dan Delapan Jam, Kue Basah Khas Palembang

Maksuba dan delapan kue wajib saat berlebaran di Palembang

Intinya Sih...

  • Kue maksuba dan delapan jam adalah kue basah khas Palembang yang memiliki filosofi istimewa
  • Kue delapan jam mengajarkan keseimbangan hidup, sementara maksuba menjadi tolak ukur perempuan Palembang sebagai seorang istri
  • Proses pembuatan kue mengajarkan kesabaran, emosi, dan nilai-nilai tradisional dalam masyarakat Palembang

Palembang, IDN Times - Maksuba dan delapan jam merupakan kue basah khas Palembang yang memiliki filosofi istimewa. Kerap tersaji ketika hari raya, maksuba dan delapan jam ternyata memiliki makna yang belum banyak diketahui masyarakat.

Siapa sangka kue basah khas Palembang maksuba dan delapan jam menjadi bukti serta peradaban Bumi Sriwijaya. Selain rasa yang legit dan manis, kedua kue basah ini punya nilai historis soal keseimbangan dan perjalanan hidup.

Baca Juga: Yuk Bikin Maksuba, Kue 15 Lapis Khas Palembang yang Melegenda

1. Kue delapan jam mengandung filosofi keseimbangan hidup

Filosofi Maksuba dan Delapan Jam, Kue Basah Khas PalembangKue delapan jam, kue basah khas Palembang (IDN Times/Dok. Foods.id)

Menurut Sejarawan Sumsel, Mang Amin, kue delapan jam mengajarkan diri berproses. Selain cara pembuatan yang memang berlangsung cukup panjang, membutuhkan waktu delapan jam hingga matang, kue basah ini bermakna waktu yang seimbang.

"Kue ini punya filosofi keseimbangan hidup. Tidak boleh dimasak kurang dan lebih dari 8 jam. Kita belajar membagi waktu 24 jam dalam satu hari, 8 jam bekerja, 8 jam istirahat, dan 8 jam beribadah," kata dia kepada IDN Times.

Baca Juga: Mencicip Celimpungan Khas Palembang, Cocok Sebagai Takjil Iftar

2. Kue delapan jam dimasak pemanggang tradisional gendok

Filosofi Maksuba dan Delapan Jam, Kue Basah Khas PalembangKue delapan jam, kue basah khas Palembang (IDN Times/Dok. Foods.id)

Kue delapan jam dibuat dengan cara dipanggang menggunakan oven. Namun pada zaman dahulu, proses membuat kue delapan jam berlangsung secara tradisional, yakni dengan gendok. Gendok adalah sebutan pemanggang tempo dulu.

"Proses pengapiannya bersumber dari kayu bakar. Dari cara memasaknya secara langsung mengajarkan kita untuk bersabar," kata dia.

3. Sajian bangsawan di kesultanan

Filosofi Maksuba dan Delapan Jam, Kue Basah Khas PalembangKue maksubah, kue basah khas Palembang (IDN Times/Dok. Foods.id)

Selain agar kue delapan jam matang sempurna, proses pembuatannya yang membutuhkan waktu panjang mengajarkan diri agar bisa mengendalikan emosi. Sebab cara memasak yang lama belum tentu bisa dilakukan oleh semua orang.

"Butuh waktu lama memasak, sama halnya dengan mengajarkan proses kesabaran, mulai dari menyiapkan bahan, usaha memasak, hingga menunggu sampai matang," timpalnya.

Mang Amin bercerita, kue delapan jam dahulu kala merupakan sajian istimewa. Sebab yang dapat menikmatinya hanya kalangan bangsawan Kesultanan Darussalam.

"Tapi sekarang dijual umum dan sering ada di acara-acara Palembang, terutama sudah menjadi hidangan saat lebaran tiba," jelas dia.

Baca Juga: Menikmati Tekwan Ikan Parang, Camilan Berkuah Khas Palembang

4. Kue maksuba tanda wanita Palembang siap dipersunting

Filosofi Maksuba dan Delapan Jam, Kue Basah Khas PalembangKue delapan jam, kue basah khas Palembang (IDN Times/Dok. Harum)

Berbeda dengan kue delapan jam yang dulunya menjadi panganan Kesultanan Sriwijaya, kue maksuba bermakna sebagai penghargaan kepada wanita. Kue basah bercitarasa manis ini menjadi tolak ukur perempuan Palembang layak menjadi seorang istri.

"Kue delapan jam mengajarkan nilai keseimbangan. Kue maksuba ini di zaman dulu jadi nilai tolak ukur perempuan asli Palembang apakah sudah pantas dipersunting," timpalnya.

5. Kue maksuba pertanda perempuan Palembang bisa memasak

Filosofi Maksuba dan Delapan Jam, Kue Basah Khas PalembangKue delapan jam, kue basah khas Palembang (IDN Times/Dok. Foods.id)

Kue maksuba juga menjadi pertimbangan apakah seorang perempuan Palembang bisa memasak atau tidak. Dahulu, kue maksuba selalu ada ketika acara lamaran yang dikirim oleh bakal calon mertua.

"Dulu kue maksuba untuk menilai perempuan itu bisa masak atau enggak. Jadi saat perempuan dilamar untuk diajak menikah, mertua mengirimkan antaran bahan mentah membuat kue. Kalau dia mampu memasak kue maksuba, artinya perempuan itu layak menjadi istri," jelas dia.

Biasanya, para perempuan Palembang akan membawakan maksuba kepada calon mertuanya ketika jelang hari raya lebaran. Bahkan ketika mereka telah berumah tangga sebagai wujud rasa cinta dan penghormatan.

Baca Juga: 3 Takjil Buka Puasa Khas Palembang, Bukan Cuma Pempek, Lho

Topik:

  • Deryardli Tiarhendi
  • Mayang Ulfah Narimanda

Berita Terkini Lainnya