Kenaikan Pajak Hiburan Bikin Perkembangan Wisata Sumsel Stagnan

Kenaikan pajak hiburan mengancam pengusaha gulung tikar

Intinya Sih...

  • Kenaikan tarif PBJT dan pajak hiburan menuai kontroversi dan penolakan dari berbagai pihak, memicu stagnansi wisata daerah dan menghancurkan pendapatan.
  • PHRI pusat berencana mengajukan judicial review ke MK untuk membatalkan aturan kenaikan pajak minimal 40 persen dan maksimal 75 persen.
  • Para pelaku usaha hampir di seluruh daerah termasuk di Sumsel menolak kebijakan kenaikan pajak yang dapat mematikan bisnis, menuntut nilai kenaikan tidak lebih dari 20 persen.

Palembang, IDN Times - Kenaikan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dan pajak hiburan yang diatur Pemerintah Pusat dalam Undang-Undang (UU) nomor 1 tahun 2022 tentang hubungan keuangan, menuai kontroversi dan penolakan dari berbagai pihak.

Bahkan keputusan tersebut dianggap memicu wisata daerah menjadi stagnan. Selain karena memberatkan pelaku hiburan, kenaikan pajak bisa menghancurkan pendapatan. Sebab banyak pihak yang menggantungkan ekonomi mereka dari sektor hiburan.

"Perlu diketahui adalah jika industri hiburan bukan hanya berisi karaoke dan diskotik saja. Ada banyak pekerja yang sumber penghasilannya bergantung pada penyedia jasa hiburan baik skala kecil dan menengah," ujar Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sumsel, Kurmin Halim kepada IDN Times, Jumat (19/1/2024).

Baca Juga: PAD Palembang Capai Target, Pajak Hotel dan Restoran Tak Optimal

1. Kenaikan pajak hiburan bisa mematikan bisnis dan industri

Kenaikan Pajak Hiburan Bikin Perkembangan Wisata Sumsel StagnanIlustrasi pajak (Pexels.com)

Keputusan pemerintah mengatur kenaikan pajak hiburan minimal 40 persen dan maksimal 75 persen mendapat penolakan perhimpunan. Bahkan PHRI pusat berencana mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan aturan itu.

“PHRI pasti keberatan, karena dampaknya memang sangat berat sekali untuk anggota kita,” kata dia.

Penolakan aturan kenaikan pajak juga telah disampaikan para pelaku usaha hampir di seluruh daerah termasuk di Sumsel, karena kebijakan yang direncanakan pemerintah itu dapat mematikan bisnis.

"Imbasnya perkembangan dunia hiburan menjadi stagnan. Jika memang dinaikkan (pajak), bayangkan, kita pengusaha untung 10 persen sampai 20 persen sudah alhamdulillah,” jelas dia.

Baca Juga: Uji KIR dan Izin Trayek di Palembang Gratis Mulai 2024

2. Pengusaha dan pelaku bisnis terancam gulung tikar

Kenaikan Pajak Hiburan Bikin Perkembangan Wisata Sumsel StagnanIlustrasi pajak (pexel)

Ketua Masyarakat Sadar Wisata (Masata) Sumsel sekaligus Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Herlan Asfiudin, mngatakan bila kebijakan pajak hiburan sudah ditetapkan benar-benar naik, artinya pengusaha terancam gulung tikar.

“Kita pengusaha modal pinjaman bank dari awal, pada saat 70 persen untuk pajak, 20 persen untuk biaya-biaya taktis, gak ada gaji lagi karyawan. Otomatis tutup usaha alias game over,” katanya.

3. Kenaikan pajak harus dicari solusi dengan angka yang wajar

Kenaikan Pajak Hiburan Bikin Perkembangan Wisata Sumsel StagnanIlustrasi pajak (dok: Pinterest)

Herlan berpendapat kalaupun pajak hiburan naik, seharusnya nilai kenaikan tidak lebih dari 20 persen atau tidak merugikan banyak pihak.

"Kalau pajak hiburan tinggi, terindikasi adanya permainan dari oknum tertentu. Celah untuk permainan itu lebih besar, baik dari pihak pengusaha nakal maupun petugas pajak,” timpal dia.

Ia juga menyarankan kenaikan tarif pajak sebaiknya di angka wajar, tidak memberatkan banyak pihak apalagi memicu kecurangan oknum.

"Yang harus dicari solusinya berapa kisaran kenaikan tarif pajak yang tepat. Yang penting wajar dan kalau bisa dipermudah," jelas dia.

Baca Juga: Pajak Air Tanah Sumbang PAD Palembang Tertinggi 110,98 persen 

Topik:

  • Deryardli Tiarhendi

Berita Terkini Lainnya