Usai UU Direvisi, Pimpinan: This is the Darkest Moment in KPK Life

"KPK sudah berubah secara total karena UU itu direvisi"

Jakarta, IDN Times - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode M. Syarif mengaku situasi di komisi antirasuah selama tiga pekan terakhir bagaikan roller coaster. Mereka tidak tenang lantaran nasib lembaga dan pegawai di sana terancam dengan fakta Undang-Undangnya direvisi. 

Kekhawatiran itu pun menjadi kenyataan usai pada Selasa siang (17/9), lantaran dalam rapat paripurna, anggota DPR justru menyetujui UU yang menjadi dasar KPK bekerja direvisi. Padahal, sejak awal, komisi antirasuah mengaku tidak diajak berdiskusi sebelum UU itu diubah. 

Maka, Syarif mengatakan tahun 2019 ini merupakan momen kegelapan selama 17 tahun KPK berdiri. 

"Mungkin anak-anak KPK mengatakannya itu 'the darkest moment in KPK life' selama 17 tahun umur KPK, karena betul-betul yang kita saksikan adalah sesuatu yang mengubah secara total apa KPK itu," kata Syarif ketika berbicara di program Mata Najwa yang tayang di stasiun Trans 7 pada Rabu malam (18/9). 

Hal kedua lainnya yang menyebabkan para pegawai KPK galau yaitu, mereka tidak bisa berbuat sesuatu untuk menyelamatkan institusi antirasuah itu. Sebab, KPK, kata Syarif juga sengaja dibuat dalam keadaan gelap. 

Lho mengapa KPK mengatakan demikian ya? 

1. KPK sejak awal tidak pernah dilibatkan dalam proses diskusi revisi UU KPK

Usai UU Direvisi, Pimpinan: This is the Darkest Moment in KPK Life(Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif tengah bersiap mengikuti ujian psikotest di Pusdiklat) ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

Syarif menjelaskan sejak awal proses revisi UU di mana rapatnya secara perdana digelar pada (5/9) lalu, KPK tidak pernah dilibatkan. Namun, KPK tidak ingin berpangku tangan, mereka juga menjemput bola dengan mendatangi beberapa pihak, seperti kantor Kementerian Hukum dan HAM, Menteri Sekretaris Negara hingga berupaya untuk menemui Presiden Joko "Jokowi" Widodo. 

"Tapi, kami tidak ada satu respons yang kami dapatkan. Kami memang mendapatkan salinan UU yang direvisi, tapi bukan dari pemerintah atau DPR. Saya menyebutnya dokumen itu didapat dari 'hamba Allah'," tutur Syarif semalam. 

Ia mengaku memang sempat dimintai pendapat mengenai revisi UU KPK, tetapi itu terjadi pada 2016 lalu. Ketika rencana itu hendak diwujudkan pada 2019, KPK tak lagi dimintai pendapat. 

Baca Juga: Meski Serahkan Mandat ke Presiden, Laode dan Agus Tetap Pimpin KPK

2. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif tak habis pikir komisi antirasuah mati saat di bawah kepemimpinannya

Usai UU Direvisi, Pimpinan: This is the Darkest Moment in KPK Life(Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dan Laode M Syarif tengah mengumumkan tersangka baru BLBI) ANTARA FOTO/Reno Esnir

Di program itu pula, pandangan Syarif menerawang jauh ke belakang sambil memikirkan mengapa komisi yang ia pimpin justru malah dimatikan di bawah kepemimpinannya. Mantan pengajar di Universitas Hasanuddin itu mengatakan sebenarnya mereka tidak menyerah ketika melihat kondisi tersebut, tetapi baik DPR dan pemerintah justru menutup pintu komunikasi. 

"Terakhir, karena merasa putus asa, akhirnya kami menghadap ke Pak Yasonna (Menkum HAM) dengan Pak Agus Rahardjo (Ketua KPK), Pahala Nainggolan (Deputi Pencegahan) dan staf biro hukum. Saya akhirnya WA Beliau, apakah kita bisa bertemu in confidence (secara rahasia) dengan Pak Agus? Dia bilang: 'oke, datang jam 14:30 WIB," tutur Syarif menceritakan kembali kronologi awal pertemuannya dengan Yasonna. 

Pernyataan Syarif itu sekaligus membantah kalimat Yasonna yang menyebut KPK tak pernah bertemu dengan Menkum HAM untuk membahas revisi UU KPK. Pimpinan KPK sengaja datang agar bisa membaca dokumen terbaru mengenai UU komisi antirasuah, sehingga dapat memberikan komentar yang tepat. 

Sayangnya, Yasonna mengatakan tidak perlu lagi ada diskusi, lantaran pembahasannya merupakan kelanjutan dari beberapa tahun sebelumnya. Syarif tak menyerah, kemudian ia meminta dokumen berupa Daftar Inventaris Masalah (DIM) ke Yasonna. 

"Supaya kami bisa masukan usulan KPK ke DPR atau pemerintah. Yasonna mengatakan tidak ada. Nanti saja, ketika di sesi panja akan diundang di DPR," kata dia mengulangi kembali pernyataan Yasonna ketika itu. 

Namun, janji Yasonna itu tak pernah ditepati. KPK tak pernah diundang dalam pembahasan revisi UU di DPR. 

3. DPR baru cepat membahas UU apabila ada kepentingan khusus

Usai UU Direvisi, Pimpinan: This is the Darkest Moment in KPK LifeAntaranews/ M RISYAL HIDAYAT

Sementara, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar di program yang sama, mengurai pendapat yang menarik. Ketika Ketua Badan Legislasi, Supratman Andi Agtas menyebut tak perlu UU yang akan disahkan harus masuk prolegnas, pernyataan itu dibantah oleh Zainal. 

Menurut akademisi hukum itu, DPR baru bisa kompak dan cepat memproses suatu UU apabila memiliki kepentingan yang sama. Dalam hal ini, ia seolah ingin merujuk baik partai pro pemerintah atau opsisi sama-sama ingin KPK tak ada. 

"Kedua, kalau pun dikatakan menerabas prolegnas ada kondisi khusus, kegentingan. Pertanyaan saya, ada kegentingan apa di UU KPK (sehingga harus direvisi)?," tanya Zainal. 

Ia pun mempertanyakan, apakah negara akan roboh bila UU KPK tak segera direvisi. 

"Gak ada (kegentingan itu)," tegas Zainal. 

Poin ketiga yang menjadi argumen Zainal, yakni setiap ada UU yang direvisi, maka kebiasaan di dalam ketatanegaraan yakni akan mengundang lembaga yang terkait. Ia mengambil contoh ketika DPR hendak mengubah rancangan UU Bank Indonesia, rancangan dokumennya disiapkan oleh instansi bank sentral itu. 

"Ini kok bisa diubah (UU nya), tapi KPK nya tidak dipanggil, semua pihak tidak dipanggil, panja dilakukan sangat cepat, rapat langsung dilakukan dengan persetujuan. Kemudian, yang terakhir ketika disahkan, harusnya yang hadir rapat 200, tapi yang ada saat dihitung hanya 80 orang," tutur dia lagi. 

4. Anggota DPR Masinton Pasaribu mengakui ada koleganya yang titip absen saat pengesahan UU KPK

Usai UU Direvisi, Pimpinan: This is the Darkest Moment in KPK LifeANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Menjawab mengenai koleganya yang absen, anggota komisi III Masinton Pasaribu mencoba membela diri. Namun, ujung-ujungnya ia mengakui memang banyak anggota DPR yang titip absen ketika proses pengesahan UU tersebut di rapat paripurna pada Selasa kemarin. 

"Mereka bukan titip absen. Mereka datang, kemudian ada beberapa aktivitas DPR, termasuk ada kegiatan di Lemhanas, itu kerja sama Lemhanas bersama DPR," kata Masinton di program yang sama. 

Ia pun membantah DPR tak pernah meminta pendapat KPK. Masinton menegaskan pada 19 Februari 2015, DPR turut meminta pendapat komisi antirasuah. Namun, proses itu sudah terjadi empat tahun lalu. 

"Pendapatnya kami minta terkait dengan RKUHP, kemudian UU Tipikor, karena akan ada perbaikan di UU Tipikor," kata Masinton berdalih. 

Dari pertemuan itu, turut disampaikan beberapa poin yang kemudian dijadikan acuan untuk mengubah UU KPK. Beberapa poin itu yakni menyangkut pentingnya ada Dewan Pengawas, kewenangan mengeluarkan SP3, pengaturan penyadapan dan status kepegawaian. 

Baca Juga: Ini Perjalanan DPR dan Pemerintah Ngebut Bahas Revisi UU KPK

Topik:

Berita Terkini Lainnya