Islam Anti Kekerasan, Tapi Mengapa Banyak Negara Muslim Berkonflik?

Fuller: tak ada Islam, konflik tetap ada

Sleman, IDN Times – Kematian Pimpinan Pasukan Quds sayap eksternal garda Revolusi Iran, Jenderal Qassem Soleimani akibat serangan Amerika Serikat ke Bandara Internasional Baghdad di Irak kian membuat hubungan dua negara memanas. Iran mengancam melakukan serangan balas dendam. AS pun balik mengancam, jika serangan balasan dilakukan. Spekulasi Perang Dunia III pada 2020 seolah tinggal menunggu waktu.

Merujuk hasil studi peneliti Gleditsch dan Rudolfsen dari Peace Research Institute di Oslo (PRIO) pada 2016, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid menjelaskan, Islam tidak mengajarkan kekerasan dan tidak mencintai konflik. Faktanya, muncul konflik dan perang di negara-negara muslim di Timur Tengah. Korban jiwa dari para pihak tidak terhitung jumlahnya.

“Fakta ini bisa jadi bahan taddabur (merenungi secara mendalam),” kata Fathul saat menyampaikan pidato kunci dalam pembukaan Simposium Nasional bertema Optimalisasi Tiga Pilar Da’wah (Masjid, Pesantren, dan Kampus) Guna Memperkokoh NKRI Menuju Indonesia Maju yang Diridhoi oleh Allah SWT di Auditorium Kahar Muzakkir Kampus Universitas Islam Indonesia (UII) di Sleman (6/1).

“Apakah negara-negara muslim lebih rentan terhadap kekerasan?” kata Fathul mencuplik pertanyaan kedua peneliti tersebut.

Baca Juga: Dewan Dakwah Bahas Tudingan Radikalisme di Masjid, Pesantren, Kampus

1. Alasan batas wilayah hingga sumber daya minyak

Islam Anti Kekerasan, Tapi Mengapa Banyak Negara Muslim Berkonflik?ANTARA FOTO/REUTERS/Mohammed Salem

Sejumlah argumen dibangun berkaitan dengan sebab musabab konflik negara-negara di Timur Tengah terjadi. Pertama, sejarah kolonialisme yang belum menghasilkan batas-batas teritorial yang jelas. Kedua, ada campur tangan negara-negara besar, seperti Rusia dalam perang Afghanistan, AS di beberapa negara pasca serangan 11 September 2001. Ketiga, ketertinggalan ekonomi dan politik. Keempat, ketercukupan sumber daya, seperti minyak bumi sehingga muncul istilah ‘kutukan sumber daya’.

Berdasarkan data yang dikumpulkan pada 1946-2014 menunjukkan, sebanyak 20 (41 persen) dari 49 negara yang mayoritas berpenduduk muslim mengalami perang sipil atau perang sesama anak bangsa. Total durasi perang 174 tahun atau 7 persen dari total umur kumulatif semua negara muslim itu yang mencapai 2.467 tahun.

"Dalam satu dekade terakhir hanya Indonesia, Mesir, dan Bangladesh sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar yang terhindar perang sipil," kata Fathul.

2. Ajaran Islam tidak berkontribusi dalam konflik Timur Tengah

Islam Anti Kekerasan, Tapi Mengapa Banyak Negara Muslim Berkonflik?Belasan pria menghadiri upacara pemakaman korban ledakan di aula pernikahan di Kabul, Afganistan pada 18 Agustus 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Mohammad Ismail

Mengutip pendapat peneliti, Fathul menambahkan, yang menarik adalah ajaran Islam tidak berkontribusi atau tidak berkorelasi terhadap munculnya konflik tersebut di negara-negara Timur Tengah. Mantan pentolan CIA, Graham E. Fuller dalam bukunya A World without Islam pada 2012 juga membenarkan.

“Jika Islam dan Nabi Muhammad tidak pernah ada, hubungan antara Barat, terutama Amerika Serikat dan Timur Tengah tidak akan berbeda jauh,” kata Fuller dalam sebuah diskusi di sebuah lembaga untuk berdialog antaragama dan antarbudaya di Washington DC, Rumi Forum.

Dengan kata lain, lanjut Fathul, konflik di muka bumi akan tetap terjadi meskipun Islam tidak ada.

“Ajaran Islam bukan pemicu konflik. Justru memuliakan perdamaian,” kata Fathul.

3. Mencegah konflik lewat ilmu dan teknologi

Islam Anti Kekerasan, Tapi Mengapa Banyak Negara Muslim Berkonflik?Simposium Dewan Dakwah Islaamiyah di Kampus UII, Sleman, 6 Januari 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Perdana Menteri pertama Indonesia, Muhammad Natsir mencetuskan tiga pilar dakwah untuk mendalami pengetahuan agama dan jihad, yaitu masjid, pesantren, dan kampus. Fathul mengejawantahkan dengan misi pendalaman pengetahuan agama yang cenderung dilakukan masjid dan pesantren serta misi jihad oleh kampus. Meski pun pembagian peran tersebut diakui Fathul bisa diperdebatkan.

“Istilah jihad disesuaikan dengan konteks kekinian. Ikhtiar memajukan peradaban umat,” kata Fathul.

Semisal upaya mendirikan Baitul Hikmah oleh Khalifah Harun Ar Rasyid (763-809) pada masa Daulah Abbasiyah yang diteruskan anaknya, Abdullah bin Harun Ar Rasyid (786-833). Misi utamanya mengembangkan ilmu dan teknologi. Masa itu di sana menjadi tempat berkumpulnya para ilmuwan muslim dan non muslim. Ada seorang ilmuwan dan penerjemah Kristen, Hunayn bin Ishaq. Tsabit bin Qurra yang beragama Sabian yang menerjemahkan karya dari bahasa Yunani ke Arab. Ada pendeta Kristen, Yusuf Al Khuri yang menterjemahkan buku dari bahasa Syiria ke Arab.

Kemudian Bapak Kedokteran Modern, Ibnu Sina yang banyak membaca literatur Yunani. Sebut saja Ornagon karya Aristoteles yang membahas logika, Elements karya Euclid yang membahas matematika, Almagest karya Ptolomeus yang mendiskusikan astronomi dengan pendekatan matematis.   

Kemudian kisah Khalifah Al Walid bin Abdul Malik yang memerintahkan pembangunan Masjid Al Aqsha di Yerusalem pada 701 dan perluasan Masjid Nabawi di Madinah pada 707. Al Walid mengirim permohonan bantuan orang-orang terbaik untuk ikut membangun kepada penguasa Byzantium di Konstantinopel. Kisah tersebut tertulis dalam Mukadimah Ibn Khaldun yang ditulis pada 1377.

4. Tak masalah muslim belajar ilmu ke negara non muslim

Islam Anti Kekerasan, Tapi Mengapa Banyak Negara Muslim Berkonflik?Rektor UII Fathul Wahid di Kampus UII, 6 Januari 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Fathul pun menyarikan tiga pelajaran penting yang diambil dari sejarah khazanah Islam. Pertama, ajaran dan tradisi Islam menghargai ilmu dan para ahli ilmu. Kedua, pengembangan ilmu dalam Islam harus dibarengi dengan bingkai zikir. Ketiga, dalam konteks pengembangan ilmu tidak ada larangan untuk mempelajari ilmu yang dihasilkan oleh ilmuwan beragama lain atau pun menjalin kerja sama maupun meminta bantuan kepada kolega atau ilmuwan lain agama.

“Kalau ada muslim yang belajar ilmu dan teknologi ke Eropa, Amerika, Jepang, tidak perlu dipersoalkan. Jika universitas Islam membangun kerja sama dengan universitas negara-negara maju tak perlu dipermasalahkan,” pungkas Fathul.

Baca Juga: Haedar Nashir: Moderasi Bisa Dijadikan Alternatif dari Deradikalisme

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya