Jubir Satgas: Pengetahuan Publik Seputar COVID-19 di Bawah 15 Persen

Minim informasi picu hoaks di medsos

Palembang, IDN Times - Hoaks terkait informasi COVID-19 masih terjadi di masyarakat. Selain karena kemudahan pintu masuk berita palsu yang menyebar melalui platform era digital, potensi hoaks di bidang kesehatan turut dipengaruhi akibat pengetahuan rendah.

Sejumlah faktor hoaks menyebar cepat lantaran digitalisasi selalu bisa diakses 24 jam tanpa batas. Selain itu, kecenderungan terjadi, masyarakat tidak mengetahui informasi dari sumber resmi mudah menerima berita palsu tanpa melakukan cek dan ricek terlebih dahulu.

"Pengetahuan publik terkait COVID-19 kurang dari 15 persen dan pencegahan penyebaran (hoaks) yang belum konsisten kurang dari 30 persen membuat informasi tidak kredibel mudah tersebar," kata Direktur Pencegahan Pengendalian Penyakit Penularan Langsung Kementerian Kesehatan sekaligus Juru Bicara Satgas COVID-19, Siti Nadia Tarmizi dalam Webinar Peran Jurnalis Perangi Hoaks digelar IDN Times bersama FJP Indonesia dan DAAI TV, Sabtu (16/1/2021).

1. Cegah hoaks dengan melakukan strategy community engagement (CE)

Jubir Satgas: Pengetahuan Publik Seputar COVID-19 di Bawah 15 PersenWebdinar Peran Jurnalis Perangi Hoaks yang digelar IDN Times bersama FJP Indonesia dan DAAI TV, Sabtu (16/1/2021).

Pemerintah bertanggung jawab menangani kasus hoaks. Untuk itu, perlu melakukan strategi agar berita palsu tidak mudah tersebar. Caranya, menganlisis situasi, menerapkan upaya komunikasi menuju perubahan perilaku, menggerakan media dan influencer serta melakukan strategy community engagement (CE).

"Pertama siapkan kompenen penting dalam komunikasi risiko dengan mengelola rumor, meningkatkan komunikasi publik, melibatkan pemangku kepentingan bekerjasama lintas sektor untuk mengambil kembali kepercayaan publik, terhadap vaksin contohnya," ujar Nadia.

Selanjutnya, menarget strategi komunikasi dengan pembagian kelompok sasaran. Dalam hal ini, sosialisasi yang mudah terserap masyarakat diawali dari edukasi di puskesmas setiap wilayah. 

Itu lantaran, fasilitas layanan kesehatan tersebut paling dekat keterkaitannya dengan strategy community engagement. "Puskesmas memiliki engagement (CE) karena menjadi informasi terdekat bagi warga setempat. Edukasi publik untuk hanya percaya Semua informasi mengacu kepada web resmi kemenkes," kata Nadia.

Baca Juga: Vaksin Sinovac Tiba di Palembang, 7 Daerah Mendapat Vaksin Awal

2. Pendekatan penanganan konten negatif

Jubir Satgas: Pengetahuan Publik Seputar COVID-19 di Bawah 15 PersenWebdinar Peran Jurnalis Perangi Hoaks yang digelar IDN Times bersama FJP Indonesia dan DAAI TV, Sabtu (16/1/2021).

Nadia menyampaikan, isu terhangat hoaks COVID-19 saat ini mengenai vaksin. Baru-baru ini vaksinasi Sinovac terhadap pejabat daerah dan presiden menjadi hal paling disorot.

Salah satu langkah melawan hoaks tersebut melakukan pendekatan penanganan konten negatif. Selain itu, peran lain menangani kasus hoaks melakukan edukasi literasi digital, kampanye budaya cek, ricek dan kroscek serta melakukan aduan konten-konten yang berpotensi menyebarkan pemberitaan palsu.

"Oleh karena itu Indonesia harus benar-benar kuat dalam setahun ini memberikan informasi jelas vaksinasi. Seperti fokus informasi prioritas penerima vaksin itu siapa saja. Periode pertama tentu kita prioritaskan (vaksin) untuk nakes dan petugas publik. Karena dua-dua ini rentan terpapar COVID-19," terang Nadia.

3. Pemerintah dan unsur pentahelix bertanggung jawab menyampaikan informasi jelas

Jubir Satgas: Pengetahuan Publik Seputar COVID-19 di Bawah 15 PersenWebdinar Peran Jurnalis Perangi Hoaks yang digelar IDN Times bersama FJP Indonesia dan DAAI TV, Sabtu (16/1/2021).

Solusi lainnya adalah bagaimana pemerintah dan peran serta pentahelix menyampaikan informasi tanpa miskomunikasi. Seperti banyak pertanyaan, apakah jika vaksin COVID-19 sudah ada di Indonesia, negara bakal kembali berjalan normal seperti semula? 

Menurut Nadia, jawaban dari pertanyaan tersebut yang harus teredukasi terhadap masyarakat.

"Apakah mampu kembali normal? Jadi sebenarnya, adanya vaksin adalah untuk membentuk imunitas tubuh orang-orang yang belum terpapar COVID-19, dari efikasi yang sampai 65 persen, artinya menyisakan 35 persen penduduk kita (Indonesia) yang bisa terkena COVID, tentu ini menekan kasus penyebaran," jelas dia.

Nadia menambahkan, berdasarkan data saat ini, Indonesia terkonfirmasi kasus positif COVID-19 sampai 12 ribu orang. Artinya, dengan angka kasus yang terus meningkat, penularan di tengah masyarakat membuktikan virus corona belum teratasi.

Bahkan, positive rate COVID-19 Indonesia per hari naik 15 persen. "Makanya, meskipun sudah vaksinasi, tetap jangan kendor menerapkan 3M dan 3T," timpalnya.

4. Perlu informasi rinci untuk diterima masyarakat

Jubir Satgas: Pengetahuan Publik Seputar COVID-19 di Bawah 15 PersenWebdinar Peran Jurnalis Perangi Hoaks yang digelar IDN Times bersama FJP Indonesia dan DAAI TV, Sabtu (16/1/2021).

Nadia menyatakan, penekanan informasi perlu diterima masyarakat adalah, bukan karena adanya vaksin COVID-19, pandemik langsung berhenti. Hal itu tidak mungkin, karena segala sesuatu butuh proses dan evaluasi. Vaksin ini bertujuan sebagai antibodi dan menjadi benteng pertahanan tubuh.

"Vaksin diperuntukkan untuk mencegah penularan (COVID-19), sebelum kita terinfeksi COVID-19. Tubuh sudah memiliki pertahanan, COVID-19 kita anggap musuh, vaksin yang masuk untuk mengenali musuh. Sehingga kalau ada musuh yang kita kenal, kita bersiap-siap melawan dan mampu memberikan respon kekebalan tubuh," kata Nadia.

Isu lain soal vaksin COVID-19 sering terjadi miskomunikasi yakni soal sinovac belum memiliki izin edar. Seolah, vaksin yang telah disiapkan pemerintah tidak aman untuk masyarakat. Padahal, vaksin tersebut sudah lulus uji klinis dan melalui percobaan untuk melihat efek samping.

"Maksudnya izin edar ini atau UEA, karena pemerintah sudah membeli sinovac sebelum mendapat izin edar. Kami jamin produk ini aman, jadi pembelian sudah negosiasi sejak Juni 2020, keamanan klinis sudah kita pertimbangkan bersama para ahli," ujarnya. 

"Pemerintah membeli sinovac sembari menunggu UEA. Tujuannya agar vaksin datang lebih cepat. Tidak lama-lama yang terkesan menunda-nunda. Jika dibandingkan Singapura dan Malaysia, Indonesia memulai vaksinasi di awal," tandas Nadia.

Baca Juga: Vaksinasi COVID-19 Digelar Pekan Ini, Nakes Ada Pro dan Kontra

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya