Laris Manis Dagangan Miras di Era Pandemik 

Penjual miras di beberapa daerah justru tiarap karena PPKM

Palembang, IDN Times - Peraturan Presiden (Perpres) nomor 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang memasukkan minuman keras (miras) sebagai industri, menuai kontroversi dari masyarakat bahkan pemerintah di beberapa daerah.

Seiring penolakan yang besar terhadap aturan "undangan investasi" itu, Presiden Joko 'Jokowi' Widodo pun mencabut aturan yang menjadikan miras sebagai industri terbuka Selasa (2/3/2021). Namun pembahasan tentang pro dan kontrak miras terus bergulir.

Bagi yang mendukung minuman beralkohol sebagai industri, menyebut Perpres tersebut bisa membuka lapangan tenaga kerja, meningkatkan peluang bagi UMKM tumbuh dan berkembang, serta pengendalian miras secara ilegal atau diam-diam.

Namun bagi golongan penolak, Perpres dianggap berdampak buruk terhadap sosial masyarakat. Seperti potensi kriminalitas yang meningkat. Walau investasi industri miras hanya berlaku di Papua, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara, ada kekhawatiran maraknya miras oplosan atau palsu di luar daerah investasi.

Seperti apa tanggapan pengusaha dan penjual minuman keras khususnya di daerah soal rencana ligitimasi minuman keras sebagai investasi? Lantas bagaimana keadaan penjualan minuman beralkohol sejak pandemik COVID-19?

1. Penjualan minuman alkohol meningkat sejak pandemik

Laris Manis Dagangan Miras di Era Pandemik Miras(IDN Times/Debbie Sutrisno)

Robin bukan nama sebenarnya, telah menjual minuman beralkohol (mikol) di warung kaki lima kawasan Ilir Barat 1 Palembang sejak dua tahun terakhir. Walau penjualan mikol berkurang sejak awal pandemik hingga lebaran Idul Fitri 2020, namun konsumsi miras justru naik setelahnya.

Robin menjelaskan, pembeli umumnya hanya untuk membawa pulang minuman. Mereka masih takut untuk nongki sembari menenggak miras di luar. Apalagi pemerintah sedang giat-giatnya melakukan penertiban keramaian atau kerumunan.

"Akhir-akhir ini memang banyak yang beli untuk dibawa pulang. Mungkin karena pandemik jadi minumnya di rumah saja. Pembeli pun sudah semakin ramai," ujar dia kepada IDN Times, Rabu (3/3/2021).

WZ seorang pemasok minuman beralkohol di wilayah Sumatra Bagian Selatan (Sumbagsel) saat dikonfirmasi IDN Times mengatakan, pembeli miras rata-rata kelas menengah ke atas. Mulai dari anak muda hingga pejabat daerah.

Terkadang pembeli mengonsumsi miras di rumah saat pandemik, bukan minum di tempat umum atau yang telah disediakan. Apalagi Sumsel berbeda dengan empat daerah yang sempat masuk dalam aturan investasi penanaman modal. Penjualan dan peredarannya sangat diatur oleh Pemda lewat Peraturan Daerah (Perda).

Senada diungkapkan MR (41), penjual tuak di Tubah, Jawa Timur (Jatim), mengaku tak memedulikan Perpres yang sudah dicabut Jokowi. Menurut MR, penjualan tuak di tempatnya tetap saja laku dengan atau atau tanpa Perpres itu.

"Gak ada masalah mas, mau ditetapkan atau dilegalkan, jualan tuak masih tetap laku," katanya. 

Setiap harinya MR membeli puluhan liter tuak dari produsen asal Kecamatan Semanding. Ia menjualnya kembali kepada pelanggan tetap secara grosiran atau eceran. Untuk harga jual, tuak berukuran 1,5 liter dijualnya seharga Rp15 ribu. 
 
"Kami juga melayani pembelian dengan jumlah banyak, satu jerigen isi 30 liter itu kita jual Rp200 ribu," imbuhnya.

Penjualan minuman beralkohol sejak pandemik cukup meningkat. Menurut sebuah riset dari IWSR yang memberi wawasan tentang pasar minuman beralkohol dunia, penjualan alkohol di lokapasar Amerika Serikat mendekati US$5,6 miliar pada tahun 2020, atau naik sekitar US$3 miliar di tahun sebelumnya.

Dari 10 pasar utama di beberapa negara seperti Australia, Brasil, Cina, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Spanyol, Inggris, dan Amerika Serikat, penjualan minuman beralkohol di lokapasar diperkirakan meningkat 42 persen menjadi US$24 miliar di tahun lalu.

IWSR menghubungkan kenaikan penjualan alkohol di lokapasar dengan pandemik COVID-19, yang telah menyebabkan banyak konsumen mengubah kebiasaan membeli dan beralih ke belanja online dalam upaya menghindari paparan virus.

Baca Juga: Konsumsi Miras di Sumsel Naik Saat Pandemik

2. Penjualan arak di Bali justru merosot karena Pergub

Laris Manis Dagangan Miras di Era Pandemik Ilustrasi perajin arak Bali. (IDN Times/Wayan Antara)

Namun berbeda halnya dengan pengusaha arak di Bali. Penjualan minuman beralkohol mereka cukup sulit sejak awal pandemik COVID-19. Seperti yang dialami oleh seorang pedagang arak asal Kota Denpasar, I Wayan Budi Arsana (51).

Ditambahkan Arsana (51) asal Sanur, biasanya ia menjual 30 liter arak asli Karangasem sebelum pandemik. Arak tersebut ia ambil dari kelompok tani di Kabupaten Karangasem. Namun sejak pandemik, ia hanya bisa menjual dua sampai tiga liter saja. Apalagi pengetatan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

“Lumayan sih, satu jerigen itu habis satu hari. 30 liter lah,” ungkapnya.

Arak bagi masyarakat Bali sudah ada sejak turun temurun dari nenek moyang. Minum arak sudah menjadi tradisi yang biasanya dikonsumsi usai pulang kerja oleh warga Pulau Dewata pada umumnya. Namun para pekerja di Bali yang mengonsumsi minuman banyak yang dirumahkan dan memilih pulang kampung. Imbasnya, penjualan minuman arak semakin menurun.

Seorang petani arak tradisional bernama I Nyoman Redana (49), asal Desa Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen mengatakan, produksi arak berbahan nira dari pohon kelapa telah ia lakukan. Hal serupa kini diteruskan oleh petani arak tradisional. Namun usaha ini redup sejak pemerintah mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi atau Destilasi Khas Bali.

Diakuinya saat awal-awal pandemik, arak tradisional memang sempat laris manis. Banyak warga dari luar Kabupaten Karangasem datang untuk membeli arak tradisional ini. Namun lambat laun penjualannya semakin macet.

“Lambat laun setelah keluar aturan dari Pergub yaitu tata kelola tentang arak tradisional dan arak fermentasi. Nah sekarang di masa pandemik, kalau awal-awal pandemik itu arak tradisional larisnya bukan main,” ungkapnya pada Rabu (3/3/2021).

Belum lagi bermunculan usaha arak fermentasi dengan bahan dasar air, gula pasir, dan fermipan dua bulan belakangan. Arak berbahan gula pasir merusak harga arak yang berbahan tuak (nira kelapa). Harga arak berbahan tuak dengan kandungan alkohol 20 persen, dulunya bisa dijual seharga Rp15 ribu per botol.

Sedangkan arak berbahan dasar gula pasir djual cukup murah. Satu botol air dengan kadar alkohol 30 persen bisa dijual di Kota Denpasar seharga Rp12 ribu. Pengepul pun sudah enggan membawa arak berbahan tuak ke Denpasar.

Baca Juga: Bisnis Minol di Semarang, Terganjal PPKM hingga Impor dari Luar Negeri

3. Terganjal PPKM hingga menumpuk barang di gudang

Laris Manis Dagangan Miras di Era Pandemik Congyang jadi miras favorit di Semarang. Instagram/congyang_smg

Sepanjang pandemik COVID-19, iklim usaha tempat hiburan, kafe dan bar di Kota Semarang terdampak. Kondisi itu dimulai sejak adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM). 

General Manager The Tavern Group yang membawahi Wishbone Bar, Negro Sefni mengatakan, dampak pandemik dirasakan oleh sektor pariwisata seperti tempat hiburan. Selain terjadi penurunan jumlah pengunjung, juga berimbas pada bisnis mereka.

‘’Dengan adanya PKM, jam operasional Wishbone Bar berubah. Dari sebelumnya buka mulai pukul 18.00-02.00 WIB, kini buka pada pukul 16.00-23.00 WIB. Penurunan jumlah pengunjung juga terjadi selama pandemik, yakni turun lebih dari 60 persen,’’ ungkapnya saat dihubungi, Sabtu (6/3/2021). 

Upaya yang dilakukan Wishbone Bar dalam meyakinkan konsumen adalah rutin menyemprotkan desinfektan, menerapkan protokol kesehatan secara ketat, melakukan sertifikasi CHSE, dan rutin melakukan tes swab kepada staf restoran maupun bar.

Seorang perajin di sentra industri alkohol, Sabariyo (78), mengakui ada penurunan permintaan alkohol meski baru terjadi sejak awal tahun 2021. Perajin asal Desa Bekonang, Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo tersebut memilih menyimpan produksi alkohol di gudang.

Sabariyo mengaku awal pandemi COVID-19 menjadi momen keuntungannya, di mana pada saat itu alkohol banyak dicari oleh masyarakat sebagai hand sanitizer.

Berdasarkan harga di pasaran, pada saat itu harga alkohol menyentuh harga Rp100 ribu per liter. Harga yang cukup mahal, di mana alkohol biasanya dijual dengan harga Rp35.000 per liter.

Sabariyo mengatakan, banyaknya permintaan dan minimnya produksi membuat alkohol menjadi barang langka. Tak heran jika alkohol dijual dengan mahal. Saat pandemil, ia bisa memprodukai alkohol maksimal 500 liter dalam satu bulan.

"Awal-awal pandemi itu bulan Maret, April, Mei itu lancar dan banyak dibutuhkan," ujarnya saat ditemui Jumat (5/3/21).

Ia mengatakan jika saat ini kebutuhan alkohol baik untuk kebutuhan medis dan kosmetik mengalami penurunan. Ia tidak mengetahui apa sebab penurunan permintaan alkohol di masyarakat. Bahkan beberapa perajin alkohol di Desa Bekonang banyak yang tutup lantaran tidak bisa menutup ongkos produksi.

"Kalau saat ini menurun tidak tahu apa penyebabnya, tapi permintaan menurun bahkan beberapa perajin banyak yang tutup. Penurunan hampr 50 persenan lebih, cukup besar," jelasnya.

Sabariyo menumpuk hasil produksi alkohol di dalam gudang, sembari menunggu permintaan alkohol kembali normal. Harga satu liter alkoholnya dibanderol Rp35.000 per liter.

Baca Juga: Riwayat Congyang, Miras Khas Semarang yang Dipercaya Sembuhkan Masuk Angin

4. Minuman lokal tak kalah bersaing

Laris Manis Dagangan Miras di Era Pandemik Cap Tikus di Sulawesi Utara sudah mendapat izin edar dari pemerintah setempat (wikimedia.org/istimewa)

Cristian Dala (47), seorang pedagang tuak di Kecamatan Kesu, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan (Sulsel) mengaku sempat mendengar kabar terkait Perpres nomor 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang memasukkan miras.

Selain melalui media, ia mendengar informasi itu dari beberapa orang pelanggan yang kerap singgah di kedai tuaknya. Kedai sederhana miliknya itu sering dihampiri warga sehabis bekerja dari ladang. Menurut Cristian, selama aturan itu tidak merugikan kenapa tidak untuk disahkan saja oleh pemerintah.

"Asalkan semua orang setuju. Tapi harus juga dijelaskan kenapa sampai dikasih aturan begitu. Karena pendapat orang berbeda-beda kalau soal minuman begini," ujar pria yang akrab disapa Tian ini.

Tian mengungkapkan, dirinya tidak begitu khawatir apabila Perpres Investasi Miras tetap disahkan. Sebab ia yakin minuman tuak Toraja buatannya mampu bersaing dengan pemodal miras besar. Dia percaya, kualitas minuman tradisional jauh lebih disukai. Apalagi menurut Tian tuak bagi masyarakat di kampungnya sudah sejak turun temurun dikonsumsi oleh semua kalangan.

"Kalau untuk yang minuman botolan itu pasti lebih mahal. Tapi kalau yang begini (tuak) banyak dicari orang karena terjangkau harganya," ucapnya. 

Udin (nama samaran) seorang penjual minuman beralkohol di Kecamatan Sukarema, Kota Bandar Lampung juga menyatakan, ia tak begitu memahami detail Perpres investasi Miras yang sempa viral.

Ia hanya berpikir ketika Perpres disahkan bisa membawa angin segar, khususnya terhadap penjualan minuman beralkohol di Lampung, khususnya di Kota Tapis Berseri. Itu tak lain, aktivitas transaksi penjualan miras khususnya tanpa izin edar resmi di Bandar Lampung terbilang cukup tertutup. Ditambah lagi, legalitas perizinan sulit didapatkan dari pemerintah setempat.

"Ya harapannya kan sudah pasti biar dipermudah penjualannya (miras). Karena kan ini sebagai penghasilan buat sebagian orang," ujar Udin, Jumat (5/3/2021).

Penggiat bisnis ini sempat begitu bersemangat bila ada aturan itu dibuka lebar. 

“Iya dong, jadi kami gak perlu sembunyi-sembunyi lagi jualan,” terang WR, salah satu penjual miras khas Sulawesi Utara, Cap Tikus kepada IDN Times, Jumat (5/3/2021) sore.

Tim penulis: Ayu Afria Ulita Ermalia, Wayan Antara, Faiz Nashrillah, Yuda Almerio Pratama Lebang, Tama Wiguna, Sahrul Ramadan, Rangga Erfizal

Baca Juga: Wacana Investasi Miras Sempat Bawa Angin Segar Bagi Penjual di Lampung

Topik:

  • Deryardli Tiarhendi

Berita Terkini Lainnya