UU ITE Menelan Banyak Korban, karena Pasal Karet atau Warga Tak Paham?

Ribuan kasus UU ITE dilaporkan selama 2018, ada yang salah?

Jakarta, IDN Times - Sejak disahkan pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 21 April 2008 lalu, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 19 Tahun 2016, menjadi senjata utama untuk memidanakan seseorang.

Terbukti, hanya empat bulan setelah disahkan, UU ITE yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik atau teknologi informasi secara umum itu, digunakan untuk menjerat Prita Mulyasari.

Pada Agustus 2008, Prita dituduh mencemarkan nama baik Rumah Sakit (RS) Omni Internasional dan disangkakan melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan Pasal 310-311 KUHP, setelah mengeluhkan pelayanan RS tersebut melalui tulisan yang ia kirim lewat email kepada temannya.

Email itu beredar cepat di dunia maya dan membuat Prita dilaporkan ke polisi. Menggunakan UU ITE itu, Prita ditahan dan dinyatakan bersalah. Pada 17 September 2012, Prita kemudian resmi dibebaskan. 

Tidak hanya masyarakat biasa, UU ITE juga menjerat beberapa publik figur. Pada 5 November 2015, artis stand up comedy (komika) Muhakdly MT alias Acho juga dijerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Acho dilaporkan oleh pengembang Apartemen Green Pramuka karena mengeluhkan fasilitas apartemen di blog pribadinya. Belakangan, kasus itu diselesaikan secara damai oleh kedua pihak.

Yang terbaru, tiga selebritas Tanah Air harus berurusan dengan polisi akibat terjerat kasus asusila dan melanggar UU ITE, karena konten yang mereka sebarkan melalui media sosial YouTube. Mereka adalah Galih Ginanjar, Pablo Benua, dan Rey Utami.

Ketiganya telah ditetapkan sebagai tersangka dan kini mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Polda Metro Jaya selama 20 hari. Mereka digelandang masuk bui karena terjerat Pasal 27 ayat 1, Pasal 27 ayat 3, juncto Pasal 45 ayat 1 UU ITE. Kemudian, Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dengan ancaman hukuman di atas enam tahun penjara.

Melihat peristiwa demi peristiwa di atas, apa sebenarnya yang membuat banyak orang bisa terjerat kasus ITE ?

Baca Juga: Buntut Kasus Ikan Asin, Galih Ginanjar Ditahan 20 Hari

1. Masyarakat sudah tahu UU ITE, tapi tidak bisa menerjemahkan secara benar

UU ITE Menelan Banyak Korban, karena Pasal Karet atau Warga Tak Paham?IDN Times/Fitang Budhi Adhitia

Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Institute Heru Sutadi mengatakan, masyarakat sebetulnya sudah mengetahui apa itu UU ITE dan aturan di dalamnya. Tapi dalam praktiknya, masyarakat tidak bisa secara benar menerjemahkan UU tersebut.

"Karena, masyarakat kita kan memang masyarakat yang masih belum bisa membedakan mana yang menjadi ruang privat, jadi ruang publik, dan mereka menganggap internet itu menjadi bagian dari ruang privat," kata Heru kepada IDN Times di Jakarta, Senin (15/7) lalu.

Ia pun mencontohkan kasus yang pernah menjerat Florence Sihombing. Kasus Florence bermula pada Agustus 2014, ketika dia menolak untuk mengantre di sebuah SPBU. Florence yang kala itu masih berstatus mahasiswa di Yogyakarta, menulis makian kepada warga Yogyakarta dalam akun media sosial Path miliknya.

Makian di Path itu ternyata berbuntut panjang. Sejumlah aktivis melaporkan Florence dengan UU ITE pada 28 Agustus 2014. Florence diadili dan didakwa melanggar Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 UU ITE.

"Jadi dia (Florence) tidak berpikir, orang akan membacanya sambil dia kemudian menulis umpatan pom bensin. Itu dalam waktu cepat menyeruak. Tidak hanya teman-temannya yang ada di kelompok, tapi juga se-Yogyakarta, se-Indonesia. Kan ramai itu," ungkap Heru.

2. Pemerintah kurang maksimal memberi literasi dan sosialisasi UU ITE

UU ITE Menelan Banyak Korban, karena Pasal Karet atau Warga Tak Paham?IDN Times/Rochmanudin

Heru menuturkan, meski UU ITE sudah lama disahkan, masyarakat perlu diedukasi lebih terkait UU ITE. Menurutnya, pemerintah saat ini juga kurang memberikan literasi kepada masyarakat terhadap aturan tersebut.

"Ya, sosialisasinya kurang, kemudian juga edukasi, literasinya juga kurang maksimal. Karena masyarakat itu masih gak bisa membedakan. Dia dianggap kalau nulis di internet itu kan kayak nulis sesuatu yang sifatnya untuk diri sendiri," tutur Heru.

"Jadi, seolah-olah saya bebas melakukan sesuatu di lapaknya, di channelnya. Mereka gak berpikir bahwa tidak ada lagi ruang privat di internet. Jadi ini (internet) jadi ruang publik," sambungnya.

3. Semua larangan sudah tercantum jelas di UU ITE

UU ITE Menelan Banyak Korban, karena Pasal Karet atau Warga Tak Paham?IDN Times/Arief Rahmat

Di kesempatan itu Heru menerangkan, dalam UU ITE sebenarnya sudah ada larangan yang mengatur agar masyarakat mampu bijak dalam menggunakan media sosial. Larangan-Iarangan itu tercantum di Pasal 27 UU ITE.

Misalnya, larangan memposting hal-hal yang melanggar kesusilaan, pornografi, ancaman melalui internet, fitnah atau pencemaran nama baik, dan penyebaran berita bohong.

"Itu sudah ada semua di UU ITE. Cuma bagaimana masyarakat memaknai UU tersebut, sehingga memang bisa mengerti, bisa gak orang tidak melakukan hal tersebut," terangnya.

4. Aparat penegak hukum diimbau tidak salah menafsirkan UU ITE

UU ITE Menelan Banyak Korban, karena Pasal Karet atau Warga Tak Paham?IDN Times/Arief Rahmat Sumber : Ditipidsiber Bareskrim Mabes Polri

Tidak hanya masyarakat, aparat penegak hukum juga diimbau untuk tidak  salah menafsirkan UU ITE.

"Mungkin ada hal-hal yang sesungguhnya belum bisa dijerat dengan UU ITE tapi kemudian dijerat," kata Heru.

Dia kemudian mencontohkan salah satu kasus yang dialami oleh Baiq Nuril Maknun, terpidana kasus UU ITE asal Mataram, Nusa Tenggara Barat. Menurut Heru, jika memang Baiq Nuril dianggap mencemarkan nama baik, seharusnya dijerat menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

"Tapi kan kemudian seolah-olah diplesetkan menjadi (pasal) 27 ayat (1). (Pasal) 27 ayat (1) kan penyebaran pornografi atau hal-hal yang melanggar kesusilaan. Nah itu kan gak pas sebenarnya. Jadi kalau Baiq Nuril dianggap bersalah, seharusnya Pasal 27 ayat (3). Tidak Pasal 27 ayat (1). Jadi, seolah-olah dia dipaksakan agar dihukum," jelas Heru.

5. UU ITE belum bisa membedakan mana pelaku, mana korban

UU ITE Menelan Banyak Korban, karena Pasal Karet atau Warga Tak Paham?IDN Times/Arief Rahmat Sumber : Ditipidsiber Bareskrim Mabes Polri

Heru melanjutkan, UU ITE sampai saat ini belum bisa membedakan mana yang menjadi korban dan mana yang menjadi pelaku pelanggaran UU tersebut. Seperti halnya Prita Mulyasari, menurut Heru, Prita adalah korban dari pelayanan rumah sakit yang tidak optimal. Tapi, Prita justru malah dianggap mencemarkan nama baik rumah sakit tersebut.

"Dalam kasus Acho terhadap sebuah apartemen di daerah Rawamangun, dia juga dianggap mencemarkan nama baik. Padahal, dia komplain sifatnya," kata Heru.

"Kalau Baiq Nuril kasusnya juga aneh. Dia kan korban. Korban ingin semacam cara whistleblower mengungkap kasus ini. Kok dia justru dikenakan menjadi pelaku. Kalau misalnya pelaku kan bukan dia juga," kata Heru lagi.

Lebih lanjut, Heru mengatakan, penegak hukum juga perlu diedukasi dan literasi mengenai UU ITE, agar tidak salah menafsirkan dalam menggunakan pasal- pasal UU ITE.

"Misalnya dalam kasus hoaks penyebaran berita bohong, itu kan gak bisa di Pasal 28 ayat (1) saja. Karena di dalam Pasal 28 ayat (1) itu ada penyebaran berita bohong, tapi di dalamnya ada catatan lagi. Jadi ada unsur penyebaran berita bohong, ada unsur e-commerce, ada unsur lagi kerugian konsumen. Kalau tiga (unsur) itu tidak dipenuhi, gak bisa pakai (pasal) 28 ayat (1)," jelas Heru.

Dia menambahkan, UU ITE sebaiknya dikaji kembali secara menyeluruh untuk mengetahui arah tindak pidana UU tersebut.

"Apa ini untuk membangun ekonomi digital Indonesia, atau menjadi bagian dari tindak pidana berbasis teknologi informasi," katanya.

"Di tengah masyarakat sekarang ini, UU ITE kan kayak supersif gitu, kayak musuh bersama. Jadi banyak jatuh korban sehingga pembahasan ekonomi digitalnya kurang maksimal," sambung dia.

6. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahui UU ITE

UU ITE Menelan Banyak Korban, karena Pasal Karet atau Warga Tak Paham?IDN Times/Fitang Budhi Adhitia

Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, tidak ada alasan bagi seseorang ketika dituntut oleh pengadilan, menyatakan tidak mengetahui aturan yang tertuang dalam suatu undang-undang.

Hal ini didasari asas fiksi hukum yang beranggapan bahwa ketika suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu (presumption iures de iure) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat, sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum (ignorantia jurist non excusat).

Dari penelusuran IDN Times, keberadaan asas fiksi hukum juga tertuang dalam Pasal 81 ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan yakni "Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya".

"Namun demikian, mencermati kasus-kasus yang terjadi berkaitan dengan UU ITE, maka saya kira perlu juga ada sosialisasi yang masif kepada masyarakat, mengingat banyak kasus-kasus ITE yang terjadi karena ketidaktahuan masyarakat," jelas Abdul Fickar kepada IDN Times di Jakarta, Senin (15/7) lalu.

7. Substansi UU ITE perlu diperbaiki karena ada pasal karet

UU ITE Menelan Banyak Korban, karena Pasal Karet atau Warga Tak Paham?IDN Times/Arief Rahmat Sumber : Berbagai Sumber

Abdul Fickar melanjutkan, substansi UU ITE perlu diperbaiki. Ini karena, umumnya beberapa diksi dalam pasal UU ITE menjadi pasal karet. Di antaranya diksi golongan, diksi pencemaran, kesusilaan yang menurut Abdul bisa sangat karet bila ditafsirkan.

"Karena itu, untuk melindungi agar tidak timbul korban-korban seperti Ahmad Dhani, maka perlu ada perbaikan di sana sini. Terutama pada diksi-diksi ketentuan yang bersifat karet," ungkap Abdul.

"Karena karetnya itu, UU ITE tidak mustahil dimanfaatkan orang-orang tertentu, bahkan juga oleh kepentingan kelompok politik," sambung dia.

8. Ribuan kasus UU ITE ditangani polisi selama 2018

UU ITE Menelan Banyak Korban, karena Pasal Karet atau Warga Tak Paham?IDN Times/Arief Rahmat Sumber : Ditipidsiber Bareskrim Mabes Polri

Berdasarkan data Direktorat Tindak Pidana Siber (Dirtipidsiber) Bareskrim Mabes Polri, dari 4.497 kasus siber yang diterima pihak kepolisian pada 2018, sekitar 2.300 kasus berhasil ditangani.

Untuk kasus ujaran kebencian di 2018, Polri berhasil menyelesaikan 128 dari 255 kasus yang ada. Kemudian, dari 1.270 kasus pencemaran nama baik di 2018, sebanyak 564 kasus berhasil ditangani polisi. Sedangkan untuk kasus berita bohong atau hoaks, polisi menerima 52 kasus dan berhasil menyelesaikan 18 kasus.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol. Dedi Prasetyo mengatakan, untuk kasus hoaks pada 2019, sementara ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Hingga Juli 2019, polisi sudah menerima 51 laporan kasus hoaks, dan sudah menyelesaikan sekitar 32 kasus.

Menurut Dedi, kasus berita bohong atau hoaks meningkat di 2019 dibandingkan tahun sebelumnya. "Ada peningkatan berita bohong menjadi 63 persen pada 2019, yang semula hanya 35 persen pada 2018," ungkap Dedi kepada IDN Times di Mabes Polri, Selasa (23/7).

Baca Juga: Menkumham: UU ITE Tidak Pantas untuk Baiq Nuril

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya